Rumah Tangga yang Surgawi
Dengan mensyukuri nikmat Allah biqauli “alhamdulillah” karena Allah SWT masih berkenan memberikan kesempatan hidup kepada kita dengan harapan sisa usia yang tidak tahu kapan diminta kembali oleh Allah SWT ini, tentu tidak hanya memiliki sukses dunia saja, seperti : cukup sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, tetapi lebih jauh kita memohon kejadirat-Nya agar sisa usia hidup ini memiliki prestasi ibadah kepada-Nya.
Allah SWT telah menegaskan di dalam firman-Nya Surat At Tin (95): 4 yang artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk “lahir tumekaning batin”, predikat ini harus mampu kita pertahankan sampai kapanpun. Maka untuk mempertahankannya dengan modal “ittaqu-Allah” (takwa kepada Allah).
Dalam perjalanan hidup agar kita bisa menyaksikan negeri ini dengan predikat “baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofur”, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo maka hal ini tidak lepas dari minatur sebuah “keluarga”. Oleh karena itu Allah SWT memberikan pedoman untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga yang “sa’adah ad daroini” (bahagia di dunia dan akhirat) yang dalam istilah Al Qur’an disebut dengan “mawaddah wa rahmah” (cinta dan kasih sayang).
Dengan semangat untuk mencapai mawaddah wa rahmah ini, kita diharapkan untuk terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT di manapun dan kapanpun kita berada. Inilah yang kemudian di dalam Al Qur’an ditegaskan keluarga yang akan dinantian surge Allah semata-mata atas ridha-Nya adalah bangunan keluarga yang di dalamnya ada fungsi, tidak hanya untuk menyalurkan libido seksual antara pria dan wanita semata, tetapi lebih jauh “libtigha’i mardhatillah” (mengharap ridha Allah SWT). Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al Furqan [25]: 74). Ayat tersebut menggambarkan cita-cita dalam membina mahligai rumah tangga supaya tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah di kehidupan yang serba maju dan modern ini.
Adalah fungsi sebuah keluarga yang oleh Allah mendapatkan legitimasi terangkat citra kehidupan masayarakat dalam berbangsa dan bernegara karena keluarga harus memiliki fungsi keagamaan, motivasi pernikahan yang dibangun bukan sekedar ikatan negosiasi guna mencapai kesuksesan duniawiyah, tetapi substansi perjalanan kekeluargaan ini adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya : “Nikah adalah sunnahku, siapa yang tidak senang kepada sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” Ini mengandung arti sebuah proses untuk memasukkan nilai-nilai religiusitas kita sebagai manusia, yang oleh ahli psikologi bernama Sigmond Freud mengatakan bahwa : “Manusia lebih berhasrat menyalurkan libido seksual” (keinginan untuk menumpahkan hawa nafsu).
Oleh karenanya, pernikahan yang dilandasi dengan “aqdun nikah”, maka motivasi utamanya adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw. Adalah sebuah penyelamat dalam hidup ini, ketika sudah terjadi transaksi dalam kehidupan berumah tangga dimana tujuannya bukan semata-mata untuk menyelesaikan seks, tetapi lebih jauh sebagaimana disebutkan dalam Surat Ar Rum (30): 21 yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnyapada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Tujuan dari pernikahan sebagaimana ayat tersebut adalah “litaskunu ilaiha wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmatan”, guna memperoleh stabilitas temperature batin sehingga tercipta rasa cinta dan kasih saying/ istiqamah, yang oleh Ronggowarsito dinyatakan : “jamane jaman edan, yen ora ngedan jare ora bakal keduman, hananging bejaning wong sing bejo yoiku wong sing tansah eling, ngati-ati, lan waspodo.”
Inilah orientasi akhir bagi orang-orang yang berfikir bahwa keluarga adalah sebuah penyelamat dalam rangka memperoleh ridha Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah saw karena di dalamnya banyak mengandung unsure ibadah yang bisa mencerminkan, merefleksikan, dan sekaligus mendapatkan pahala dari Allah SWT. Keluarga yang dirindukan oleh surga adalah bagaimana kita mampu memfungsikan cinta dan kasih saying itu secara benar dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagai contoh : Taj Mahal di India adalah persembahan buah cinta dan kasih sayang suami kepada istrinya, sehingga sampai sekarang bangunan tersebut menjadi fenomenal dan mendunia. Cinta adalah sebuah motivasi untuk menciptakan karya terbaik, bukan justru untuk merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dengan cinta dan kasih sayang semata-mata libtigha’i mardhatillah yang dimulai dari keluarga, antar sesama, dan lingkungan di sekitar kita maka insya Allah akan mampu menghantarkan bangsa dan negara ini menjadi “baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofur.” Orientasi keduniawian bukanlah tujuan utama, tetapi bagaiman kita mampu menciptakan kesejahteraan bagi alam semesta ini melalui cinta dan kasih sayang sesuai apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw dan atas petunjuk Allah SWT.
Agar tercipta kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia ini adalah dengan membangun rasa “khusnudzan” di antara sesama, menjaga lingkungan, dan saling menghormati di antara sesame. Di tengah kehidupan yang serba modern ini maka fungsi keluarga sangat menentukan ke mana arah dan tujuan hidup ini ditentukan. Peristiwa yang terjadi di tanah air sungguh menyayat hati, salah satunya adalah kenakalan remaja sebagai generasi penerus bangsa ini sangat tidak mencerminkan jiwa dan semangat bangsa Indonesia, mengapa hal ini terjadi? Atau jangan-jangan ini terjadi bermula dari skup kecil yakni “keluarga” yang salah arah dalam mendidik putra-putri kita dengan menanamkan hal-hal yang berorientasi pada material dan hedonistic semata. Wallahu ‘alam.
Alangkah baiknya, mari kita bermuhasabah (mawas diri) kenapa hal itu bisa terjadi. Bekal akhlakul karimah hendaknya kita tanamkan kepada putra-putri kita sejak dini, sejak masih di alam kandungan lewat pengenalan tentang alunan ayat-ayat Allah sampai dia lahir, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa harus terus kita lakukan agar di masa yang akan datang tercipta generasi yang salih dan salihah.
Sebagai penghujung, Rasulullah saw menjelaskan bahwa keluarga berfungsi sebagai perisai dalam kehidupan ini, oleh karenanya perjalanan panjang hidup yang tidak tahu kapan kita diminta kembali oleh Allah ini, mari kita jadikan keluarga kita yang ternaungi dengan ruh semangat keikhlasan menjadi sebuah miniature yang diridhai Allah SWT, suami diinspirasikan menjadi ustadz, istri sebagai ustadzah, anak-anak menjadi santri, modal kejujuran dalam rumah dijunjung tinggi, rasa kebersamaan dan kerja sama dijalin dengan baik sehingga tercipta kolaborasi yang solid. Jika hal ini mampu kita lakukan, maka insya Allah harapan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terwujud.
Semoga Allah SWT menganugerahkan keluarga kita menjadi keluarga yang dirindukan oleh surga Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya : “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr [89]: 27-30)
Demikian, semoga ada hikmah dan manfaatnya. Amin Allahumma Amin.
Buletin Jumat Al-Wustho
Edisi : 711
Tanggal : 25 Mei 2012 M / 4 Rajab 1433 H
Oleh : Drs. H. Ahmad Anas, M. Ag. (Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang)
Penerbit : Takmir Masjid Raya Baiturrahman Simpanglima Semarang
Alamat : Menara Masjid Raya Baiturrahman Jl. Pandanaran No. 126 Simpanglima, Semarang, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan pesan dengan kata-kata yang baik dan sopan, terima kasih.